Merekam jejak di negeri dua Benua

Nur Indah Fitriani

Sarapan pagi di Kusadasi menjadi pengalaman baru bagi kami karena sarapan kali ini ditemani oleh puluhan atau mungkin ratusan burung camar yang berterbangan di bibir pantai sambil ditiup angin sepoi-sepoi kami dapat menikmati langsung birunya laut Mediterania yang cantik. Dalam Bahasa Turki, kusadasi artinya pulau burung karena jika dipandang dari ketinggian bentuk pulaunya seperti kepala burung, pantas saja sejauh mata memandang terlihat burung camar berterbangan. Inilah enaknya jika berpergian sendiri karena waktu dan tempat dapat kita sesuaikan dengan keinginan sendiri tanpa diburu-buru waktu karena mengejar jadwal tour.

Tak cukup puas kami menikmati pantai dari tempat sarapan, kami bergerak ke Pelabuhan yang lokasinya tidak jauh dari hotel. Suasana pagi ini cukup cerah dengan langit sedikit berawan, suhu saat itu sekitar 7° – 9° C, pada musim dingin seperti ini biasanya jam operasional toko dan pasar sedikit menyesuaikan dengan waktu terbitnya matahari semakin, kami pergi ke pantai sekitar pukul 9 pagi tapi belum ada tanda-tanda orang berkegiatan, warung – warung makanan yang ada di pinggi pantai masih belum buka. Dipojok Pelabuhan ada pusat pelelangan ikan, disini sudah ada pergerakan walaupun masih sedikit orang. Persis didepan pusat pelelangan ikan ada banyak tempat-tempat makan, kalo diJakarta bisa dibayangkan seperti Muara karang tapi disini kondisinya lebih bersih, rapi dan tertata.

Karena tak banyak yang bisa kami nikmati disini kami bergeser sedikit menjauh dari pantai, tujuan kami adalah Grand Bazar Kusadasi. Jalan menuju ke Grand Bazar melewati sebuah sekolah yang sudah ramai dengan anak-anak sekolah, tidak seperti di Indonesia yang sebagian pembelajaran masih dilakukan secara online, anak saya yang kuliah di Universitas Istanbul sudah aktif kuliah tatap muka sejak awal semester ganjil lalu begitu juga dengan sekolah-sekolah lainnya, jika ada  mahasiswa positif covid 19 yang bersangkutan bisa mengikuti kuliah online tanpa harus menutup aktifitas perkuliahan, sepertinya disini covid 19 sudah dianggap sebagai penyakit flu biasa 😊.

Grand bazar di Kusadasi ini berada diarea terbuka tidak ada pintu masuk khusus disana yang ada hanya petunjuk arah menuju toko – toko yang berjejer rapi, kebanyakan toko fashion berbahan kulit, ditengahnya ada sisa bangunan benteng tua yang didalamnya dijadikan restoran sayangnya waktu kami kesana mereka masih persiapan untuk buka restoran. Tidak terlalu mengecewakan datang ke pasar yang masih sepi ini, meskipun belum banyak toko yang buka dan itupun belum siap menerima pengunjung kebetulan kami juga tidak berniat untuk belanja pagi ini hehehe… kami hanya berjalan mengelilingi pasar yang suasananya sangat natural ini, jika rumah makan atau café maka akan ada kursi dan meja didepannya, rapi, bersih dan tertata dengan apik. Hari beranjang siang kami Kembali ke hotel untuk check out dan melanjutkan perjalanan ketempat berikutnya, saran saya bagi yang ingin menikmati Kusadasi lebih lama sebaiknya menginap minimal 2 malam disini agar bisa melihat matahari terbenam dan merasakan nikmatnya makan malam ditepi pantai menikmati hidangan laut langsung dari laut mediterania.

menghirup udara pagi
pemandangan dari tempat sarapan
pasar ikan
Muara karangnya Kusadasi 🙂

Sebenarnya tidak cukup waktu sehari untuk berkeliling Kusadasi sayangnya kami harus meninggalkan Kusadasi saat siang, matahari sudah mulai tinggi tapi suhu masih terasa dingin dan belum berani melepas jaket, hatiku masih tertinggal disana pergi meninggalkan Kusadasi sambil membatin dalam hati “semoga suatu saat aku bisa datang lagi kesini untuk waktu yang lebih lama”.

Menuju kota kecil yang tenang dan sejuk, Selcuk, tak terlihat bangunan modern tinggi menjulang bahkan hiruk pikuk kotapun tak kami rasakan, jalannya lengang hanya sesekali satu dua mobil melintasi mobil kami. Dibalik suasana tenang itu Selcuk menyimpan banyak sejarah panjang peradaban manusia mulai dari era Yunani, Romawi hingga Ottoman, semua peninggalannya masih dapat kita lihat dengan nyata melalui puing-puing dan reruntuhan kota tua Ephesus dari era Yunani kuno, bangunan tua Gereja st. Paul dari era Romawi dan masjid Ali bey dari era Ottoman, semuanya masih terlihat indah dan mempesona sehingga kita bisa membayangkan sekaligus merasakan seolah kita berada di era mereka.

Tujuan pertama adalah reruntuhan kota tua Ephesus, dalam bahasa Turki Ephes artinya kota. Siapa yang pernah menonton film Gladiator? Jika pernah, tentu tau Gedung theater besar dengan kursi penonton melingkar setengah lingkaran ada panggung didepannya serta Lorong-lorong pintu tempat pemain atau hewan keluar masuk arena panggung, nah.. disinilah gedung itu berada. Masuk kedalam kompleknya serasa masuk kedalam masa kejayaan Yunani kuno, disambut oleh pohon – pohon besar nan rindang, hawa sejuk berhembus perlahan, sekitar 200 meter didepannya kita bisa melihat pemandangan menakjubkan sebelah kiri kanan kita adalah reruntuhan bangunan kota, diujung jalan tampak dengan jelas gedung theater yang juga menjadi salah satu icon pariwisata kota Selcuk.

Dari zaman dulu hingga sekarang hiburan menjadi bagian yang tidak bisa terpisahkan dari kehidupan, lihatlah bangunan kuno yang ada di Ephesus ini dari stukturnya Grand Theater Ephesus adalah yang termegah di kota ini, terletak di lereng Bukit Panayir, di seberang Harbour Street, dan mudah dilihat saat memasuki dari pintu masuk selatan ke Ephesus. Nama theater berasal dari kata Yunani “Theatron” yang berarti “tempat untuk mengamati”. Awalnya bangunan ini terdiri dari 2 lantai yang dibangun pada masa Yunani kuno dan ditambah menjadi 3 lantai pada masa Romawi. Pertengahan abad ke-1 beberapa permainan gladiator dilakukan di theater ini. Gempa bumi merusak theater pada abad ke-4, setelah itu hanya diperbaiki sebagian. Pada abad ke-8, theater ini dimasukkan ke dalam sistem pertahanan kota.

Saya membayangkan teknologi arsitektur apa yang mereka gunakan saat itu untuk membangun bangunan semegah dan sekokoh ini hingga ribuan tahun berlalu masih kuat dan tidak ada tanda-tanda kerapuhan. Saya sempat bergaya seolah-olah menjadi penari yang berlenggang lenggok dipanggungnya atau bahkan berlagak seolah penonton yang baru datang memilih-milih posisi terbaik untuk melihat pertunjukan, hahaha.. 😊 Jika diperhatikan sepertinya pada zaman dulu Aphesus adalah kota besar dan ramai melihat sisa – sisa reruntuhan gedung dan bangunan yang ada, apalagi ukuran theater yang begitu besar diperkirakan jumlah penduduk kota pada waktu itu bisa diatas 100.000 orang.

Tidak jauh dari grand theater yang dihubungkan oleh Arcadian way berlantaikan marmer, iya asli marmer dengan potongan besar walaupun sebagian sudah ada yang retak tapi masih sangat terlihat bagus, tiang, dinding dan lantai area Aphesus ini menggunakan batu marmer menambah dingin tempat itu, ada bagian bangunan perpustakaan Celsus yang masih bagus banget walaupun dari bangunan itu yang tersisa hanya bagian tiang-tiang penyangga saja tapi keren banget loh buat latar belakang selfie hehehe…

background perpus Celsus
Perpustakaan Celsus

Perpustakaan ini dibangun antara tahun 114 dan 117 M oleh Tiberius Julius Aquila dan dirancang oleh arsitek Romawi Vitruoya, yang dipersembahkan untuk ayahnya Tiberius Julius Celsus Polemaeanus. Pada waktu itu perpustakaan ini adalah perpustakaan terbesar ketiga didunia setelah perpustakaan Alexandra dan Pergamus. Pada tahun 262 M, perpustakaan sempat dihancurkan oleh api selama invasi Gotik (Goths). Namun, fasad masih bisa diselamatkan. Perpustakaan ini pernah direnovasi atas bantuan dari Lembaga Arkeologi Austria, sementara patung aslinya dibawa ke Museum Ephesus di Wina pada tahun 1910.

Bergeser sedikit kebagian bawah kita akan melihat hamparan lahan yang luas Sebagian berlantai marmer dan Sebagian lagi hanya tanah biasa masih dengan tiang-tiang yang tinggi, ukuran tempat itu kira –  kira seluas lapangan sepak bola, menurut keterangan  yang ada disitu adalah sisa bangunan pasar (agora) pada masa itu, dan satu lagi yang menjadi perhatian saya adalah tinggi anak tangga yang ada pada setiap bangunan menurut saya terlalu curam mungkin pada waktu itu masyarakatnya berbadan tinggi dan besar karena kalo saya turuni anak tangga itu rasanya seperti loncat, maklum tinggi badan saya Cuma 158 cm. Menurut catatan yang ada, dulu agora merupakan pasar yang memiliki atap tapi yang tersisa sekarang hanya tiang-tiangnya saja, biarpun begitu keliatannya juga tetap eksotis loh apalagi dijadikan tempat berfoto.

Grand Theater Selcuk

Satu pemikiran pada “Merekam jejak di negeri dua Benua

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s